Oleh : Harun Sitompul
A. Pendahuluan
Salah satu tuntutan reformasi di bidang pendidikan adalah diberi peluang, bahkan dalam batas tertentu diberi kebebasan, kepada keluarga dan masyasakat untuk menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan minat dan kebutuhan warga belajar, serta sesuai dengan kondisi dan tuntutan lapangan kerja. Dalam rangka mencapai masyarakat belajar (learning society) perlu diberikan kebebasan kepada warga masyarakat untuk belajar apa saja yang diminati atau dibutuhkannya, asalkan tidak bertentangan dengan falsafah negara dan bangsa.
Dewasa ini banyak sorotan masyarakat menyatakan bahwa pendidikan tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Program-program pembelajaran yang ada dianggap masih belum memadai kualitasnya sehingga anak didik tidak dapat belajar dengan baik karena tidak dapat menangkap apa yang diajarkan guru di sekolah. Hal ini perlu mendapat perhatian dari mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan, mengingat belajar merupakan proses yang sangat penting dalam menghadapi tantangan-tantangan di masyarakat. Apalagi saat ini terjadi perkembangan pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, para guru perlu mengetahui lebih banyak tentang cara mendesain dan mengembangkan program pembelajaran, agar proses belajar siswa dapat lebih efektif, efisien, dan menarik..
Alasan mengapa guru perlu mengetahui lebih banyak tentang cara mendesain dan mengembangkan pembelajaran, adalah karena selain kebutuhan intelektual, siswa juga memiliki kebutuhan-kebutuhan kependidikan lain. Dengan mendesain dan mengembangkan suatu program pembelajaran yang lebih efektif guru diharapkan akan dapat mempunyai waktu lebih banyak untuk nembantu siswa dalam perkembangan sosial, psikologi, dan emosionalnya. Guru akan dapat mencurahkan lebih banyak perhatiannya dalam mendampingi siswa demi perkembangannya sebagai individu yang utuh. Hal ini akan mungkin terjadi bila guru dapat merancang dan mengembangkan pembelajatan yang lebih efektif, efisien, dan menarik.
Kebutuhan akan program pembelajaran yang baik tidak hanya dirasakan di lingkungan pendidikan formal atau sekolah saja, tetapi juga seperti di bidang pendidikan non formal, pendidikan informal bagi segenap lapisan masyarakat . Dengan adanya program pembelajaran yang telah dirancang dan dikembangkan sesuai kebutuhan dengan baik, maka perubahan-perubahan yang cepat dalam masyarakat yang disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan akan dapat ditanggulangi. Kebutuhan pembelajaran perlu disesuaikan dengan kondisi lingkungan alam, sosial, ekonomi, budaya dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan daerah yang perlu dipelajari oleh siswa di daerah tersebut.
Mendesain pembelajaran merupakan kegiatan merumuskan tujuan apa yang ingin dicapai dari suatu kegiatan pembelajaran, cara apa yang digunakan untuk menilai pencapaian tujuan itu, materi atau bahan apa yang akan disampaikan, bagaimana cara menyampaikan bahan, serta media atau alat apa yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran tersebut. Desain pembelajaran dijabarkan dari hal yang paling umum kepada yang paling khusus dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran.
Fungsi desain pembelajaran adalah agar guru lebih siap dalam melaksanakan proses pembelajaran. Seorang guru yang baik, akan senantiasa mengadakan persiapan perencanaan terlebih dahulu, baik itu persiapan perencanaan yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Komonen-komponen yang harus dipertimbangkan dalam mendesain pembelajaran adalah tujuan, materi/bahan, strategi/metode dan media, dan evaluasi.
Dalam mendesain pembelajaran, selain memperhatikan hal-hal tersebut guru juga harus memperhatikan kebutuhahn siswa juga perkembangan intelektual dan emosional (psikologi) siswa. Desain pembelajaran harus disusun secara sistematis dengan beberapa kemungkinan situasional, sehingga desain pembelajaran dapat berfungsi untuk mengefektifkan proses pembelajaran yang sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Beberapa karakteristik perlu dipertimbangkan dalam menyusun desain pembelajaran, yaitu seperti: (1) ditujukan kepada kebutuhan siswa, (2) memiliki tahap-tahap, (3) sistematis, (4) pendekatan sistem, (5) didasarkan pada proses belajar manusia. Dalam suatu desain pembelajaran haruslah menunjukkan sebuah wujud keseluruhan dari suatu obyek penelaahan di mana unsur dari obyek tersebut berhubungan satu sama lain dalam satu jalinan yang teratur. Dalam konteks pebelajaran ini disebut suatu sistem pembelajaran yang memiliki komponen-komponen, yaitu pesan, orang, peralatan, teknik, latar atau lingkungan (AECT, 1986).
B. Masyarakat Perkebunan
Sebagaimana yang diamanatkan undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan, bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan, maka perkebunan perlu dijamin keberlanjutannya serta ditingkatkan fungsi dan peranannya. Karenanya penyelenggaraan perkebunan perlu dilakukan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional, dan bertanggung jawab yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan yang strategis.
Luas areal perkebunan di Sumatera utara berkisar 9,44% dari seluruh luas areal perkebunan dimiliki Indonesia (17.181.000 Ha), yang penyelenggaranya oleh perkebunan rakyat, perkebunan swasta, dan perkebunan negara. Potensi komoditi adalah karet, kelapa sawit, kakao, kopi, kelapa, dan tebu. Komoditi utamanya adalah kelapa sawit, karet, dan kopi. Pembangunan perkebunan yang dilaksanakan telah menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat Sumatera utara, sampai saat tahun 2002 mencapai 4.405.950 KK yang bekerja pada budidaya tanaman perkebunan. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja selam lima tahun (1998-2002) mengalami peningkatan rata-rata 0,65% pertahun (Renstra tahun 2005-2010)
Di masyarakat perkebunan berkumpul berbagai etnis pada satu lingkungan yang sama dan berinteraksi dalam jangka waku yang lama, menyebabkan terjadinya interfrensi budaya. Interaksi yang terus menerus dan intens antar individu antar etnis akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur, perilaku, sikap dan watak sebagai hasil dari komunikasi dan saling mempengaruhi di antara individu maupun kelompok. Artinya secara tidak langsung telah terjadi akulturasi budaya antar etnis dan adat istiadat yang bertemu pada satu pemukiman tersebut. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan ketika memasuki pemukiman masyarakat perkebunan akan ditemui suatu masyarakat yang unik. Masyarakat yang terbentuk melalui proses pembauran antar budaya yang datang. Di sana ditemui adanya penyimpangan dari stereotype yang ditetapkan oleh masyarakat pada etnis tertentu. Dengan demikian secara tidak langsung perkebunan telah membentuk suatu masyarakat dengan budaya baru dalam kerangka budaya nasional.
Lain halnya pada sisi kesejahteraan buruh sebagai tenaga upahan yang seyogyanya meningkat seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi akibat industrialisasi, malah mengalami keterpurukan yang menjadi-jadi. Makin jauh letak peru-sahaan/perkebunan dari pusat-pusat kota ketika itu, makin kecil pula upah yang didapat oleh buruh. Kebebasan pengusaha dalam menentukan upah, aturan-aturan diskriminasi yang tidak berpihak pada buruh, keterbelakangan kondisi sosial masyarakat di pedesaan, membuat para pengusaha sanggup melakukan apapun untuk melipatgandakan keuntungan produksinya tanpa memperhatikan kesejahteraan buruh-buruhnya (Asep,2009). Kondisi di masa kolonial ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan bagi buruh-buruh khususnya di perkebunan untuk mendapatkan kesejahteraan yang cukup. Kondisi itu tercermin dengan “tidak berlakunya” penetapan nilai UMK/Kabupaten dengan pemberlakuan upah yang dikehendaki sepihak oleh pengusaha perkebunan dengan upah harian yang sangat jauh dari pemenuhan kebutuhan hidup layak kondisi masyarakat perkebunan teh di Jabar). Dengan keterbatasan upah yang diperoleh orang tua, maka anak-anak hanya mampu sekolah hingga tingkat SLTP atau bahkan hanya lulusan madrasah di lingkungannya, karena jarak dan biaya yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak-anak terlampau tinggi. Sekolah yang jauh, sarana transportasi yang terbatas dan mahal, membuat para buruh mengurungkan niatnya untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Kondisi sosial masyarakat yang menjadi budaya turun-temurun itu dirancang, diciptakan pemilik kebun dari zaman kolonial Hindia Belanda, agar para buruh tidak mengalami kemajuan berpikir dengan tidak menyediakan sekolah rakyat yang dapat terjangkau, sehingga para buruh tidak dapat keluar dari lingkungan sosial di “kavling para buruh” dan dari lingkup kerjanya dari generasi ke generasi.Bertahun-tahun lamanya buruh-buruh perkebunan secara turun-temurun, disadari maupun tidak, tengah mengalami keterasingan dalam tingkat pendidikan, kultur sosial, ekonomi dan politik bahkan kesadaran akan ketertindasan yang tengah dialami. Pengusaha perkebunan tetap menggunakan kaki-tangannya untuk mengkontrol gerak dan “efektifitas kerja” para buruhnya. Dengan mandor-mandor kebun sebagai centeng yang mengatur dan mengawasi kerja secara langsung, bahkan aparatur desa seperti lurah yang dengan banyak kasus-kasus di perkebunan menjadi “alat kontrol gerak sosial masyarakat” yang me-nguatkan, meyakinkan kepada masyarakat atas kehendak yang diinginkan pengusaha. Demikian juga kehadiran premanisme di lingkungan tempat tinggal mereka untuk mengebiri benih-benih revolusioner buruh perkebunan yang hendak tumbuh.
Untuk mewujudkan amanat UU no. 18 tahun 2004 dibutuhkan pengembangan SDM dengan pendekatan partisipatif sehingga orientasi tugas dan fungsi SDM mengarah pada pelayanan, pendampingan, fasilitasi, dan advokasi. Mengembangkan kemampuan dan kesiapan pelayanan melalui penumbuhan perilaku pelayanan dan kesiapan berbagai data dan informasi perkebunan. Mengembangkan sikap prakarsa proaktif kepada petani-pekebun, pelaku usaha subsektor perkebunan terkait untuk mendukung pelayanan penyelenggaraan kegiatan usaha budidaya perkebunan. Di sisi lain perlu pengembangan kompetensi masyarakat di Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) melalui penyiapan SDM khususnya petani-pekebun sebagai pelaku usaha utama di wilayah tersebut. Peningkatan kompetensi petani-pekebun menyangkut pengetahuan keterampilan dan sikap daaiharapkan akan dapat merubah perilaku petani-pekebun dari semula berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pokok menjadi berorientasi bisnis dan berorganisasi dalam bentuk kerjasama/koperasi ataupun sebagai pemilik usaha. Peningkatan kompetensi ini juga dimaksudkan untuk memperkuat posisi petani/koperasi guna melaksanakan kegiatan usaha bersama melalui perusahan patungan, kerjasama dengan perusahaan pengelola ataupun bentuk kerjasama lainnya.
Pentingnya SDM memiliki kompetensi yang baik untuk mengisi pembangunan sektor perkebunan, tentu saja memerlukan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas untuk mengembangkan SDM yang sesuai dengan kebutuhan sektor perkebunan itu. Pelaksanaan pendidikan dimaksud dapat menggunakan kurikulum berbasis masyarakat perkebunan. Dengan kurikulum itu akan dapat: (1) memperkenalkan peserta didik terhadap lingkungannya, ikut melestarikan budaya termasuk karajinan, keterampilan yang nilai ekonominya tinggi di daerah tersebut, (2) membekali kemampuan dan keterampilan yang dapat menjadi bekal hidup mereka di masyarakat, seandainya mereka tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan (3) membekali agar bisa hidup mandiri, serta dapat membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sa’ud, 2008).
Kurikulum berbasis masyarakat memiliki beberapa keunggulan antara lain: Pertama, kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat setempat. Kedua, kurikulum sesuai dengan tingkat dan kemampuan sekolah, baik kemampuan finansial, profesional maupun manajerial. Ketiga, disusun oleh guru-guru sendiri dengan demikian sangat memudahkan dalam pelaksanaannya. Keempat, ada motivasi khusus kepala sekolah dan guru kelas untuk mengembangkan diri, mencari dan menciptakan kurikulum yang sebaik-baiknya, dengan demikian akan terjadi semacam kompetisi dalam pengembangan kurikulum. Dengan keunggulan tersebut, pendidikan akan dapat berperan mengubah manusia beban menjadi manusia produktif, dapat menyiapkan peserta didiknya segera memasuki dunia kerja, sehingga setidaknya mampu menghidupi dirinya, bukan menambah jumlah pengangguran.
C. Sekilas Pendidikan Alternatif
Pendidikan baik formal, nonformal maupun informal menjadi merupakan faktor penentu yang dapat membantu perkembangan kesadaran dan kemajuan berpikir masyarakat. Karena dengan kesadaran itulah manusia akan belajar, memilah-milah baik dan buruknya suatu hal dan memacu manusia itu untuk meraih kesejahteraannya.
Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari berbagai program atau cara pemberdayaan peserta didik yang dilakukan berbeda dengan cara tradisional. Secara umum pendidikan alternatif memiliki persamaan, yaitu: pendekatannya berisfat individual, memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman. Menurut Jery Mintz dalam Miarso (2004) pendidikan alternatif dapat dikategorikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu: (1) sekolah publik pilihan (public choice); (2) sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (student at risk); (3) sekolah/lembaga pendidikan swasta/independent; dan (4) pendidikan di rumah (home-based schooling).
Sekolah publik pilihan adalah lembaga pendidikan dengan biaya negara (dalam pengertian sehari-hari disebut sekolah negeri yang menyelenggarakan program belajar dan pembelajaran yang berbeda dengan program reguler/konvensional, namun mengikuti sejumlah aturan baku yang telah ditentukan. Contohnya adalah sekolah terbuka/korespondeni (jarak jauh); misalnya SMP Terbuka, proses belajar pembelajaran menerapkan konsep belajar mandiri, belajar kelompok sebaya, belajar kooperatif, tutorial, serta pada waktu tempat yang sesuai dengan kondisi dan situasi peserta didik.Sekolah terbuka diselenggarakan untuk memberi kesempatan kepada anak-anak yang karena mengalami hambatan fisik, sosio-ekonomi, dan geografi tidak dapat mengikuti sekolah reguler. Contoh lain adalah sekolah yang disebut sekolah magnet ( magnet school) atau sekolah bibit (seed school). Disebut sekolah magnet karena sekolah ini menawarkan program unggulan seperti dalam hal olahraga, atau seni. Disebut sekolah bibit karena program pendidikan yang diselenggarakan menghasilkan siswa-siswa yang mempunyai keunggulan dalam program yang ditekuni.
Sekolah atau lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah; pengertian “siswa bermasalah” di sini meliputi mereka yang: (a) tinggal kelas karena lambat belajar; (b) nakal atau mengganggu lingkungan (termasuk lembaga permasyarakatan anak); (c) korban penyalahgunaan narkoba; (d) korban trauma dalam keluarga karena perceraian orang tua, ekonomi, etnis/budaya (termasuk bagi anak suku terasing dan anak jalanan dan gelandangan); (e) putus sekolah karena berbagai sebab; (f) belum pernah mengikuti program sebelumnya. Namun tidak termasuk di dalamnya sekolah luar biasa yang dibangun untuk penyandang kelainan fisik dan/atau kelainan mental seperti tunarungu, tunanetra, tunadaksa, tunawicara, dan sebagainya. Siswa yang bermasalah memerlukan program pendidikan yang bersifat fungsional bagi kehidupan mereka di masyarakat, dan bobotnya dinilai oleh masyarakat.
Sekolah atau lembaga pendidikan swasta; mempunyai jenis, bentuk dan program yang sangat beragam, termasuk di dalamnya program pendidikan bercirikan agama seperti pesantren & sekolah minggu; lembaga pendidikan bercirikan keterampilan
fungsional seperti kursus atau magang; lembaga pendidikan dengan program perawatan atau pendidikan usia dini seperti penitipan anak, kelompok bermain dan taman kanak-kanak. Sekolah atau lembaga pendidikan swasta ini jauh lebih luwes dalam pengelolaan dan penentuan programnya disbanding dengan pendidikan publik, karena biasanya mengikuti perkembangan pasar atau permintaan.
Pendidikan di dirumah (Homeschooling/home education/home based learning) atau sekolah mandiri; adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga sendiri terhadap anggota keluarganya yang masih dalam usia sekolah. Pendidikan ini diselenggarakan sendiri oleh orangtua/keluarga dengan berbagai pertimbangan, seperti: menjaga anak-anak dari kontaminasi aliran atau falsafah hidup yang bertentangan dengan tradisi keluarga (misalnya pendidikan yang diberikan keluarga yang menganut fundalisme agama atau kepercayaan tertentu); menjaga anak-anak agar selamat/aman dari pengaruh negatif lingkungan; menyelamatkan anak-anak secara fisik maupun mental dari kelompok sebayanya; menghemat biaya pendidikan; dan berbagai alasan lainnya.
Selain pendidikan alternatif yang dijelaskan sebelumnya, dewasa ini sedang berjalan atau tumbuh sekolah PLK (Pendidikan Layanan Khusus) yang menjadi terobosan dalam bidang pelayanan pendidikan bagi anak-anak termarjinalkan. Sekolah ini tidak hanya mengajarkan ilmu tetapi juga kompetensi yang berguna bagi bekal hidup ana-anak. Anak-anak di bawah usia 18 tahun yang belum sekolah atau putus sekolah dapat belajar melalui PLK. Seperti di PLK Lentera Bangsa yang berlokasi di perkampungan nelayan Kampung Baru Muara Angke Kec Penjaringan Jakarta Utara menampung siswa usia sekolah setingkat SD, SMP, dan SMA yang kebanyakan karena putus sekolah atau terhimpit ekonomi, bahkan ada pula yang tidak pernah sekolah. Anak-anak yang bersekolah ini bersal dari orang tua yang bekerja sebagai nelayan, buruh penjual ikan, buruh bongkar muat, ataupun kuli panggul. Mereka sekolah gratis, tanpa dipungut biaya apapun, sehingga anak-anak dan orang tua sangat gembira dengan sekolah PLK ini.
Ketika kita mencoba mencerminkan hal tersebut pada kenyataan saudara-saudara kita di perkebunan, apa yang dapat kita lakukan? Adalah sebuah kebutuhan, solidaritas, bahkan kewajiban kita khususnya pemerhati pendidikan dan peranan suatu organisasi buruh progresif yang dapat membantu kesejahteraan dengan memberikan pembelajaran melalui pendidikan alternatif kaum buruh sebagai modal awal membuka kesadaran bersama mengenai posisi yang dialami. Membuka kelas-kelas belajar ataupun dengan membuat forum-forum diskusi yang terprogram di kavling-kavling buruh. Melakukan pengorganisiran dan menghimpun kekuatan kolektif yang sadar, untuk membentuk serikat buruh independen yang progresif sebagai wadah legal atau pengikat kekuatan kolektif buruh perkebunan. Karena dengan kolektivitas massa yang sadarlah, perlawanan sejati akan tercipta.Di sisi lain organisasi-organisasi buruh di kota/kabupaten pun dapat bersolidaritas dengan mengusung isu buruh perkebuanan di setiap aksi-aksi massa, atau hal lain yang memungkinkan dilakukan demi terciptanya kesejahteraan bersama kaum buruh tersebut. Pendidikan alternatif yang diberikan hendaknyalah berbasiskan kebutuhan masyarakat perkebunan.
D. Konsep Desain Pembelajaran
Untuk mewujudkan kinerja lembaga pendidikan formal, nonformal, maupun informal yang maksimal, khususnya untuk mencapai tujuan pembelajaran atau kompetensi yang dibutuhkan peserta didik, sangat ditentukan oleh kepiawian dari tenaga pengajar (pendidik, guru, pelatih, instruktur atau sejenisnya. Sehubungan hal itu, guru dituntut setiap saat untuk dapat membuat desain pembelajaran yang tepat untuk diaplikasikan di kelas sesuai dengan tuntutan kurikulum berbasis kompetensi atau kurikulum yang berlaku di lembaga pendidkan yang menjalankannya.
Desain pembelajaran adalah sebuah rancangan pembelajaran sebagai hasil dari keseluruhan proses identifikasi kebutuhan, perumusan tujuan pembelajaran, pengembangan strategi pembelajaran, pengembangan bahan ajar, serta pengembangan alat evaluasinya. Dengan demikian dalam menerapan kurikulum berbasis kompetensi, seorang guru perlu menguasai beberapa kompetensi untuk menunjang pekerjaannya. Kompetensi yang dimaksud adalah kompetensi umum, teknis, dan kompetensi profesional. Suatu kompetensi yang dijelaskan sebelumnya, menunjukkan kepada perbuatan atau tindakan (action) dalam hubungan dengan suatu tujuan yang jelas. Tanpa indikator tujuan yang jelas, maka suatu tindakan sesungguhnya tidak dapat disebut kompetensi (Hamalik, 1989). Kompetensi mengadung sejumlah komponen yang berisikan unsur-unsur yang bersifat membantu, sedangkan unsur-unsur itu mungkin berupa pengetahuan, keterampilan, proses, atau sikap. Ada beberapa jenis komponen kompetensi yang saling berinteraksi sesamanya, yaitu komponen: perilaku (performance), mata ajaran (teaching subject component), profesional (mengajar), proses (berpikir), penyesuaian diri (adjustment), dan komponen sikap.
Kompetensi yang dimiliki seorang guru haruslah memiliki kriteria dan standar tertentu. Menurut Burke (1995), kriteria kompetensi tersebut adalah: (a) mampu melaksanakan keseluruhan tugas-tugas dari suatu pekerjaan, lebih daripada memiliki keterampilan atau tugas-tugas pekerjaan yang sifatnya spesifik, (b) sesuai dengan standar yang diharapkan dalam pekerjaan, dan (c) dalam lingkungan pekerjaan nyata yang memberi tekanan dan berkaitan dengan seluruh pekerjaan dan variasi-variasi pekerjaan yang sebenarnya.
Mengajar adalah suatu kegiatan profesional yang dilakukan oleh para guru memerlukan suatu perancangan sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar. Menurut Soekamto (1993) perancangan pembelajaran ini merupakan suatu proses untuk menentukan metode pembelajaran manakah yang lebih baik dipakai guna memperoleh perubahan yang diinginkan pada pengetahuan dan tingkah laku serta keterampilan siswa dengan materi dan karakteristik siswa tertentu. Gafur (1982) mengartikan desain pembelajaran adalah sebagai keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan pembelajaran serta pengembangan teknik pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan tersebut, termasuk di dalamnya pengembangan paket pelajaran atau bahan ajar, kegiatan mengajar, uji coba, revisi dan kegiatan mengevaluasi. Sejalan dengan pendapat itu, Reigeluth dalam Suparman (1997) memberikan batasan kegiatan pembelajaran itu ke dalam tiga tahapan, yaitu (1) desain yang bagi seorang pengembang pembelajaran atau guru berfungsi sebagai cetak biru atau blue print bagi ahli bangunan, (2) produksi yang berarti penggunaan desain untuk membuat program pembelajaran, dan (3) validasi yang merupakan penentuan kualitas atau validitas dari produk akhir.
Dari paparan tersebut, secara konseptual proses rancangan pembelajaran dimulai dari identifikasi kebutuhan pembelajaran dan diakhiri dengan identifikasi bahan dan strategi pembelajaran. Sedangkan proses pengembangan dimulai dengan memilih atau mengembangkan bahan pembelajaran dan menuangkannya ke dalam strategi pembelajaran yang dirancang, kemudian diakhiri dengan mengevaluasi strategi berikut bahan pembelajaran tersebut untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensinya. Menurut Dick dan Carey (2005), proses desain pembelajaran sama panjangnya dengan proses pengembangan pembelajaran. Produknya tidak berhenti sampai disusunnya cetak biru, tetapi terus sampai ke tahap pengembangan bahan pembelajaran dan evaluasi formatifnya.
Proses merancang dan pengembangan pembelajaran adalah bertujuan untuk menemukan atau menyusun sistem pembelajaran yang efektif dan efisien serta berdaya tarik. Menurut Degeng (2000) tujuan perancangan pembelajaran adalah memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Ini dilakukan dengan memilih, dan mengembangkan metode pembelajaran yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Tahapan desain dan pengembangan pembelajaran itu terdiri atas: Tahap mengidentifikasi yaitu; (1) mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran dan menulis tujuan pembelajaran umum/standar kompetensi; (2) melakukan analisis pembelajaran; (3) mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa. Tahap mengembangkan yaitu: (4) menulis tujuan pembelajaran khusus (kompeteni dasar dan indikator); (5) menulis tes acuan patokan; (6) menyusun strategi pembelajaran; (7) mengembangkan bahan pembelajaran. Tahap mengevaluasi dan merevisi yaitu (8) mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif yang termasuk di dalamnya kegiatan merevisi.
Dari berbagai batasan yang diberikan, maka dapat dikatakan bahwa perancangan pembelajaran merupakan suatu pendekatan secara sistematis yang mencakup analisis kebutuhan pembelajaran yang mendasari tujuan pembelajaran diselenggarakan, dan seluruh upaya merancang, mengembangkan, menilai, serta mengimplementasikannya dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran atau pembentukan suatu kompetensi siswa. Dengan melakukan perancangan pembelajaran, guru akan mampu mengamati, menganalisis dan memprediksi program secara keseluruhan karena adanya kerangka kerja yang logis dan terencana, meskipun program tersebut belum dikerjakan, sedang berjalan, ataupun sudah selesai. Sehubungan dengan itu, guru dapat mengetahui mengapa matapelajaran diberikan, apa keuntungannya bagi siswa mempelajari materi pelajaran yang dipilih oleh guru, dan bagaimana mengorganisasi pengalaman belajar. Selain itu, guru dapat melihat apakah pembelajaran yang dilakukan cukup efektif, efisien, dan berdaya tarik, sehingga dapat dicegah penyimpangan yang mungkin terjadi.
C. Dasar Mendesain Pembelajaran
Upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dilakukan oleh perancang pembelajaran dengan pijakan berbagai asumsi tertentu tentang hakikat perancangan pembelajaran. Asumsi dasar menurut Briggs (1980) adalah: (1) rancangan harus bertujuan untuk membantu seseorang belajar, (2) rancangan mencakup jangka panjang dan jangka pendek, (3) sistem pembelajaran yang dirancang secara sistematik dapat mempengaruhi perkembangan seseorang, (4) rancangan sistem pembelajaran harus dilaksanakan berdasarkan pendekatan sistem, dan (5) rancangan perlu didasarkan atas pengetahuan bagaimana manusia belajar. Selain itu Degeng (2000) menambahkan ada delapan asumsi dasar, yaitu: (1) perbaikan kualitas pembelajaran diawali dari rancangan pembelajaran, (2) pembelajaran dirancang dengan menggunakan pendekatan sistem., (3) rancangan pembelajaran didasarkan pada pengetahuan tentang bagaimana seseorang belajar, (4) rancangan pembelajaran diacukan kepada siswa secara perseorangan, (5) hasil pembelajaran mencakup hasil langsung dan hasil pengiring, (6) sasaran akhir rancangan pembelajaran adalah memudahkan siswa belajar, (7) rancangan pembelajaran mencakup semua variabel yang mempengaruhi belajar, (8) inti rancangan pembelajaran adalah penetapan metode pembelajaran yang optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Perancangan pembelajaran dapat dijadikan titik awal upaya perbaikan mutu pembelajaran. Ini berarti bahwa perbaikan mutu pembelajaran haruslah diawali dari perbaikan mutu rancangan pembelajaran. Mutu pembelajaran juga sangat ditentukan oleh pendekatan yang dipakai untuk merancangnya. Dengan menggunakan pendekatan sistem. akan memperbesar peluang dalam mengintegrasikan semua variabel yang mempengaruhi belajar dalam rancangan pembelajaran. Dengan melakukan analisis sistem pembelajaran akan dapat diketahui keseluruhan variabel yang mempengaruhi belajar, termasuk pula keterkaitan antar variabel tersebut.
Mutu pembelajaran banyak ditentukan oleh bagaimana pembelajaran itu dirancang, dan bagaimana landasan pengembangannya: intuitifkah, ilmiahkah, atau intuitif-ilmiah? Rancangan pembelajaran yang menggunakan landasan intuitif berpijak kepada kemampuan intuisi perancangnya, sedangkan yang menggunakan landasan ilmiah lebih mengandalkan pada pengetahuan ilmiah atau teori-teori yang telah dikembangkan oleh ilmuwan. Pengembangan rancangan pembelajaran yang menggunakan landasan intuitif-ilmiah berpijak pada kemampuan intuisi perancangnya dengan dukungan landasan ilmiah yang sahih. Landasan ilmiah yang dipakainya biasanya adalah pengetahuan-pengetahuan ilmiah atau teori-teori belajar dan pembelajaran yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan pembelajaran.
Rancangan pembelajaran diacukan kepada siswa secara perseorangan. Asumsi ini diangkat dari fenomena bahwa hal belajar terjadi secara perseorangan. Perilaku belajar dapat ditata atau dipengaruhi, tetapi perilaku belajar itu akan tetap berjalan sesuai dengan karakteristik siswa. Oleh karena itu, dalam merancang pembelajaran harus mempertimbangkan karakteristik siswa secara perseorangan, seperti: tingkat perkembangan intelektual, gaya belajar, motivasi, dan kemampuan awalnya. Misalnya, siswa yang lambat tidak mungkin dipaksa bertindak cepat, sebaliknya siswa yang cepat tidak mungkin dipaksa bertindak lambat. Dalam hal seperti ini, kalau pembelajaran tidak dirancang dengan acuan perseorangan, maka siswa yang lambat akan selalu kekurangan waktu dan siswa yang cepat akan selalu kelebihan waktu.
Dalam merancang pembelajaran perlu memilah hasil pembelajaran yang segera bisa diukur pencapaiannya (hasil langsung) dan hasil pembelajaran yang terbentuk secara kumulatif yang merupakan urunan dari sejumlah peristiwa pembelajaran (hasil pengiring). Perancang pembelajaran seringkali merasa kecewa dengan hasil nyata yang dicapainya karena ada sejumlah hasil yang tidak segera bisa diamati setelah pembelajaran berakhir, terutama hasil pembelajaran yang termasuk kawasan sikap. Sikap lebih merupakan hasil pembelajaran yang terbentuk secara kumulatif dalam waktu yang relatif lama dan merupakan integrasi dari hasil sejumlah perlakuan pembelajaran (Degeng, 2000).
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan upaya membelajarkan siswa dan perancangan pembelajaran merupakan penataan upaya tersebut agar muncul perilaku belajar. Dalam kondisi yang tertata: tujuan dan isi pembelajaran jelas, strategi pembelajaran optimal, akan amat berpeluang memudahkan belajar. Di pihak lain, peranan pengajar akan menjadi semakin kompleks, ia bukan hanya sebagai salah satu sumber belajar, tetapi juga harus menampilkan diri sebagai orang ahli dalam menata sumber-sumber belajar lain serta mengintegrasikannya ke dalam tampilan dirinya. Guru itu harus mampu menampilkan diri sebagai satu komponen yang terintegrasi dari keseluruhan sumber belajar. Ini berarti, adalah tidak tepat kalau dikatakan bahwa pembuatan rancangan pembelajaran dimaksudkan untuk memudahkan mengajar. Rancangan pembelajaran bukan untuk itu, akan tetapi untuk memudahkan siswa belajar. Siswa yang selayaknya dijadikan kunci akhir dalam menetapkan mutu suatu rancangan pembelajaran.
Perancangan pembelajaran haruslah didasarkan pada hasil identifikasi dan analisis tentang semua variabel yang secara teoritik dan empirik mempengaruhi belajar. Variabel-variabel yang mempengaruhi terjadinya perilaku belajar dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: kondisi pembelajaran, metode pembelajaran, dan hasil pembelajaran (Reigeluth, 1983 dan Degeng, 1989). Kondisi pembelajaran mencakup semua variabel yang tidak dapat dimanipulasi oleh perancang dan harus diterima sebagaimana adanya. Yang termasuk ke dalam variabel kondisi adalah: tujuan pembelajaran, isi pembelajaran, keterbatasan sumber belajar, dan karakteristik siswa. Metode pembelajaran mencakup semua cara yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran dalam kondisi tertentu. Variabel metode adalah: strategi mengorganisasi isi pembelajaran, strategi menyampaikan isi pembelajaran, dan strategi mengelola pembelajaran. Hasil pembelajaran mencakup semua akibat yang muncul dari penggunaan metode tertentu pada kondisi tertentu, seperti keefektifan, efisiensi, dan daya tarik pembelajaran. Suatu rancangan pembelajaran selayaknya mencakup keseluruhan variabel ini.
Inti utama dalam perancangan pembelajaran adalah pada pemilihan, penetapan, dan pengembangan variabel metode pembelajaran. Pemilihan metode pembelajaran harus didasarkan pada analisis kondisi dan hasil pembelajaran. Analisis akan menunjukkan bagaimana kondisi pembelajarannya dan apa hasil pembelajaran yang diinginkan. Setelah itu, baru penetapan dan pengembangan metode pembelajaran dilakukan. Dalam menentukan metode pembelajaran ada tiga prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) tidak ada satu metode pembelajaran yang unggul untuk semua tujuan dalam semua kondisi, (2) metode (strategi) pembelajaran yang berbeda memiliki pengaruh yang berbeda dan konsisten pada hasil pembelajaran, dan (3) kondisi pembelajaran yang berbeda memiliki pengaruh yang konsisten pada hasil pembelajaran.
D. Alternatif Desain Pembelajaran
Kemampuan sebagai seorang perancang pembelajaran tidak begitu saja muncul tanpa bekal pengetahuan tentang berbagai hal yang terkait dengan setiap langkah perancangan pembelajaran. Langkah perancangan pembelajaran ditentukan oleh model pengembangan pembelajaran yang dipilih atau diadaptasi oleh perancang (tenaga pengajar) untuk dikembangkan. Mengapa perlu model pembelajaran? Bagi para perancang dan pengembang pembelajaran berguna sebagai: (1) alat untuk berkomunikasi antara mereka sendiri dan juga dengan para klien, (2) petunjuk dalam perencanaan aktivitas-aktivitas yang akan dilaksanakan pada pengelolaan pembelajaran, atau (3) sejumlah aturan yang bersifat preskriptif untuk suatu pengambilan keputusan. Ketiga kegunaan tersebut dapat saja saling tumpang tindih, namun model-model ini selalu mempunyai kecenderungan untuk memberikan tekanan pada satu fungsi saja.
Banyak pilihan model perancangan/pengembangan sistem pembelajaran yang dapat diacu dalam menentukan desain pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kondisi latar pembelajaran atau situasi setempat. Model-model pengembangan pembelajaran itu dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu model yang berorientasi pada: (1) kelas, (2) hasil atau produk, (3) sistem, dan (4) organisasi (Gustafson dalam Soekamto, 1993; Miarso, 1994).
(1) Model berorientasi pada kelas merupakan yang terbanyak ada dalam literatur, mengingat banyaknya macam pembelajaran baik secara sektoral (formal atau non formal), maupun tingkatan (mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi). Ditambah lagi dengan adanya berbagai macam tujuan serta kombinasi di antara tujuan-tujuan itu. Model ini mempunyai asumsi bahwa telah ada guru, siswa, kurikulum, dan fasilitas tertentu. Kebutuhan pengembangan terjadi apabila guru merasa bahwa efektivitas pengajarannya perlu ditingkatkan. Contohnya adalah model: Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), Gerlach & Ely, Kemp, Briggs & Wager, Rekonstruksi Kuliah, DeCecco, dan model Davis, Alexander, & Yelon.
(2) Model berorientasi pada pembuatan produk atau hasil mempunyai tiga ciri utama: (1) adanya asumsi bahwa produk pembelajaran diperlukan, (2) diperlukan uji coba dan revisi berulang kali hingga mantap, dan (3) adanya asumsi bahwa produk itu harus dapat digunakan oleh berbagai pengelola pembelajaran. Contohnya adalah model: Dick & Carey, Banathy, Baker & Schutz, Paul Harmon, dan model SLTP Terbuka.
(3) Model berorientasi pada peningkatan sistem ini dapat ditandai dengan adanya empat karakteristik, yaitu: (1) dikerjakan oleh suatu regu yang besar jumlah maupun keahliannya, (2) dikembangkan secara linear dengan ketepatan langkah, (3) disebarkannya kegiatan maupun hasil secara meluas, dan (4) berorientasikan pada pemecahan masalah. Contohnya adalah model: Instructional Development Institute (IDI), Interservice procedures for Instructional System Development (IPISD), Corseware Development Process (CDP), Gagne & Briggs.
(4) Model berorientasi pada peningkatan organisasi merupakan hal yang masih belum banyak dilakukan. Pengembangan organisasi berkepentingan dengan penyempurnaan pembelajaran, meskipun perhatiannya lebih banyak pada struktur, kebijaksanaan dan lingkungan organisasi di mana kegiatan pembelajaran berlangsung. Kecuali untuk peningkatan pembelajaran, tujuan model ini adalah untuk mengadakan modifikasi atau mengadaptasi organisasi dan personel yang ada ke suatu lingkungan yang sifatnya baru. Contohnya adalah model: Southeast Asia Instructional Development Institut (SAIDI) oleh Blondin, Blake & Mouton, dan Carkhuff & Fisher.
Dengan adanya beberapa model pengembangan pembelajaran yang mungkin dapat dipakai, maka kita dihadapkan pada pertanyaan, mau pakai yang mana? Jawabannya adalah: Ada lima kriteria yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam memilih model perancangan/pengembangan sistem pembelajaran, yaitu model itu harus: (1) Sederhana, bentuknya sederhana dapat mempermudah kita untuk mengerti, mengikuti dan menggunakannya. (2) Lengkap, suatu model yang lengkap haruslah mengandung tiga unsur pokok, yaitu identifikasi, pengembangan, dan evaluasi. (3) Mungkin diterapkan, selain sederhana bentuknya, dan lengkap komponennya, maka model itu hendaklah dapat diterima (acceptable) dan dapat diterapkan (applicable) mengingat situasi dan kondisi setempat. (4) Luas, jangkauan model tersebut hendaknya cukup luas, tidak saja dapat berlaku untuk pola proses mengajar belajar yang konvensional, tetapi juga proses belajar yang lebih luas, baik yang menghendaki kehadiran guru secara fisik maupun yang tidak. (5) Teruji, syarat terakhir ini perlu pula dipertimbangkan, pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah model yang bersangkutan telah terpakai secara luas, dan teruji/terbukti dapat memberikan hasil yang baik. Apabila dari model yang sudah ada itu ternyata tidak ada yang memenuhi kelima kriteria tersebut, masih ada kemungkinan bagi kita untuk mengembangkan model yang baru sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkannya. Bisa dengan menciptakan yang baru atau cukup dengan memodifikasi dari model-model yang sudah ada.
Bila dilihat dari proses perancangan pembelajaran, maka pada umumnya, syarat-syarat seorang perancang pembelajaran harus memiliki tiga kemampuan, yaitu (1) kemampuan analitik, (2) kemampuan pengembangan, dan (3) kemampuan pengukuran. Model pengembangan pembelajaran manapun yang diacu seorang perancang, maka ketiga persyaratan itu haruslah dimilikinya.
Kemampuan analitik diperlukan ketika melewati langkah analisis kondisi pembelajaran, yang meliputi kemampuan untuk menganalisis: tujuan dan karakteristik matapelajaran, kendala dan sumber-sumber belajar yang tersedia, dan kemampuan menganalisis karakteristik siswa. Unjuk kerja analisis ini hanya mungkin dapat ditampilkan kalau seorang perancang telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hakikat dan klasifikasi: tujuan pembelajaran, tipe isi dan struktur isi matapelajaran, sumber belajar, serta hakikat dan klasifikasi karakteristik siswa.
Kemampuan pengembangan perlu dimiliki oleh seorang perancang pembelajaran agar dapat menampilkan langkah penetapan strategi-strategi pembelajaran, yaitu strategi pengorganisasian, penyampaian, dan pengelolaan pembelajaran. Kemampuan pengembangan dalam konteks ini mencakup kemampuan untuk memilih, menetapkan, dan mengembangkan strategi-strategi pembelajaran yang paling optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan. Diasumsikan bahwa kemampuan-kemampuan ini hanya mungkin dapat ditampilkan apabila perancang pembelajaran memiliki pengetahuan dasar yang cukup mengenai cara-cara mengorganisasi isi pembelajaran, cara-cara menyampaikan isi pembelajaran, dan cara-cara mengelola pembelajaran.
Kajian strategi mengorganisasi isi pembelajaran mencakup strategi tingkat mikro yaitu yang hanya melibatkan satuan-satuan konsep secara terpisah, dan strategi makro yaitu yang melibatkan isi matapelajaran yang akan diajarkan dalam kurun waktu tertentu. Kajian mengenai strategi penyampaian isi pembelajaran dipusatkan pada cara yang dapat dipilih oleh perancang pembelajaran atas dasar tersedia/tidaknya sumber belajar (media belajar) yang diperlukan. Kajian lain yang dikaitkan dengan butir ini adalah bagaimana bentuk interaksi belajar setiap siswa dengan setiap sumber belajar yang dipakai. Selain itu, termasuk pula kajian tentang struktur atau bentuk mengajar belajar yang sebaiknya dipakai bila sumber belajar tertentu tidak tersedia. Kajian mengenai strategi pengelolaan pembelajaran dipusatkan pada penjadualan penggunaan suatu sumber belajar, pembuatan catatan tentang kemajuan belajar, pengelolaan motivasional, dan kontrol belajar.
Kemampuan pengukuran ini diperlukan untuk mengukur hasil pembelajaran, hal ini harus mampu ditampilkan oleh seorang perancang agar ia dapat menetapkan tingkat keefektifan, efisiensi, dan daya tarik pembelajaran yang telah dirancangnya. Kemampuan ini meliputi kemampuan dasar dalam memilih, menetapkan, dan mengembangkan alat ukur yang paling tepat untuk mengukur pencapaian tujuan. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang cukup tentang klasifikasi hasil pembelajaran yang perlu diukur, indikator-indikator setiap klasifikasi, dan penetapan kriteria tingkat keberhasilan (standard).
Selain berbagai persyaratan yang dijelaskan di atas yang harus dimiliki seorang perancang pembelajaran khususnya guru, ada hal yang sangat ditekankan agar kesemuanya itu dapat terwujud maka diperlukan kesadaran dan sikap kepedulian serta komitmen yang tinggi dari para pengajar untuk cenderung melakukan perancangan pembelajaran jauh sebelum dimulainya pembelajaran di kelas. Setinggi apapun pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh pengajar, tentu saja tidak akan bermanfaat dalam meningkatkan mutu pembelajarannya bila tidak memiliki kesadaran, kepedulian , dan komitmen yang tinggi terhadap peningkatan kualitas pendidikan itu.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa langkah merancang pembelajaran tergantung kepada model pengembangan pembelajaran yang digunakan. Perlu diketahui bahwa ada empat unsur dasar dalam proses perancangan pembelajaran yang selalu dibahas hampir semua model perancangan. Keempat unsur dasar dapat diwujudkan dengan jawaban terhadap pertanyaa: (1) untuk siapa program itu dirancang? (ciri siswa, mahasiswa, atau peserta pelatihan), (2) kemampuan apa yang anda inginkan untuk dipelajari? (tujuan), (3) Bagaimana isi pelajaran atau keterampilan dapat dipelajari dengan baik? (metode dan kegiatan belajar mengajar), dan (4) Bagaimana anda menentukan tingkat penguasaan pelajaran yang sudah dicapai? (tata cara evaluasi). Keempat unsur ini saling terkait dan dapat dianggap sebagai rencana perancangan menyeluruh. Dalam kenyataannya, ada beberapa komponen tambahan yang perlu mendapatkan perhatian dan yang membentuk suatu model rancangan pembelajaran menjadi lengkap bila dipadukan dengan keempat unsur dasar rancangan menyeluruh.
Berikut ini diuraikan dua model pengembangan pembelajaran, satu model berorientasi kelas yaitu model Kemp dan satu model berorientasi hasil atau poduk yaitu model Dick & Carey. Kedua dapat sebagai alternatif untuk diaplikasikan dalam perancangan pada kondisi dan situasi di pendidikan formal dan nonformal, bahkan pada pendidikan informal dengan menyesuaikan latar pembelajaran.
1. Model perancangan pembelajaran Kemp.
Gambar 1. Model pengembangan Pembelajaran Kemp
Memperhatikan gambar 1, ada sepuluh unsur yang harus diperhatikan dalam merancang pembelajaran menyeluruh. Kesepuluh unsur adalah sebagai berikut.
1). Perkirakan kebutuhan belajar untuk merancang suatu program pembeajaran; nyatakan tujuan, kendala, dan prioritas yang harus diketahui.
2). Pilih pokok bahasan atau tugas untuk dilaksanakan dan tunjukkan tujuan umum yang akan dicapai
3). Teliti ciri siswa yang harus mendapat perhatian selama perencanaan
4). Tentukan isi pelajaran dan uraikan unsur tugas yang berkaitan dengan tujuan
5). Nyatakan tujuan belajar yang akan dicapai dari segi isi pelajaran dan unsur tugas
6). Rancang kegiatan belajar-mengajar untuk mencapai tujuan yang sudah dinyatakan
7). Pilih sejumlah media untuk mendukund kegiatan pembelajaran.
8). Rincikan pelayanan penunjuang yang diperlukan untuk mengembangkan dan melaksanakan semua kegiatan dan untuk memperoleh atau membuat bahan.
9). Bersiap-siaplah untuk mengevaluasi hasil belajar dan hasil program.
10). Tentukan persiapan siswa untuk mempelajari pokok bahasan dengan memberikan uji-awal kepada mereka.
Rancangan pembelajaran harus dimulai dengan memastikan apakah suatu rancangan tersebut cocok untuk program yang akan dilaksanakan. Karena itu, di dalam diagram di atas, unsur pertama ditempatkan di tengah-tengah. Meskipun urutan kesepuluh unsur di atas sudah logis. Kapan menangani unsur tertentu tidaklah dapat ditetapkan lebih dahulu. Itulah sebabnya kita menggunakan pola berbentuk bulat telur, yang tidak mempunyai awal titik tertentu. Setiap orang dapat melaksanakan proses perancangan pembelajaran dengan caranya sendiri, mulai dengan salah satu unsur yang mana saja, dan mengikuti urutan apa saja yang dirasakannya cocok.
Pada gambar, satu unsur lainnya sengaja tidak dihubungkan dengan garis atau panah, sebab garis penghubung antara unsur akan menunjukkan urutan yang lurus, padahal diagram itu dimaksudkan untuk menunjukkan keluwesan dalam menggunakan kesepuluh unsur tersebut. Misalnya, dalam beberapa program tertentu, mungkin mengetahui kebutuhan belajar, memberikan uji-awal, atau merinci isi pelajaran tidak dianggap penting. Alasan lain penggunaan bentuk bulat telur adalah untuk menunjukkan saling ketergantungan antara kesepuluh unsur tersebut. Pengambilan keputusan mengenai salah satu unsur akan mempengaruhi unsur lainnya. Pada saat menuliskan tujuan pembelajaran, sejumlah butir isi pelajaran dapat ditambah atau disusun berlainan. Atau, sewaktu menentukan kegiatan belajar-mengajar, maksud tujuan itu pada awal proses. Dengan demikian, mungkin perlu ada revisi. Akibatnya, tata cara yang disarankan sangat memungkinkan keluwesan dalam memilih unsur dan dalam urutan pembahasan semua unsur tersebut. Tata cara ini memungkinkan penambahan dan perubahan rencana perancangan pembelajaran sewaktu proses pembuatan ini berlangsung.
2. Model perancangan pembelajaran Dic & Carey
1. Mengidentifikasi Kebutuhan Instruksional (Pembelajaran)
Kebutuhan adalah kesenjangan keadaan saat ini dibandingkan dengan keadaan yang seharusnya. Dengan kata lain, setiap keadaan yang kurang dari seharusnya menunjukkan adanya kebutuhan. Apabila kesenjangan itu besar atau menimbulkan akibat lebih jauh sehingga perlu ditempatkan sebagai prioritas untuk diatasi, kebutuhan itu disebut masalah. Misalnya, hasil evaluasi pada akhir suatu matapelajaran, siswa berpendapat bahwa apa yang diperolehnya dalam matapelajaran itu kurang berguna bagi mereka, dan penyajian tidak menarik sehingga sulit dipahami. Oleh karenanya, hasil belajar merekapun rendah. Data ini diperkuat oleh pendapat beberapa guru lain yang mengajarkan matapelajaran yang sama, menyatakan bahwa sebagian isi matapelajaran kurang relevan dengan pekerjaan siswa, urutannyapun kurang sistematik. Selain itu, tesnya kurang tersusun dengan baik. Masalahnya adalah kurang baiknya kualitas sistem instruksional untuk matapelajaran tersebut. Untuk mengatasi masalah ini matapelajaran itu harus didesain kembali.
Langkah mengidentifikasi kebutuhan instruksional adalah suatu proses untuk: (a) menentukan kesenjangan penampilan siswa yang disebabkan kekurangan kesempatan mendapatkan pendidikan dan pelatihan pada masa lalu, (b) mengidentifikasi bentuk kegiatan instruksional yang paling tepat, dan (c) menentukan populasi sasaran yang dapat mengikuti kegiatan instruksional.
Menurut Harles (1975) dalam melakukan identifikasi kebutuhan instruksional ada tiga kelompok yang dapat dijadikan sumber informasi, yaitu: (a) siswa, terutama siswa yang telah bekerja, (b) masyarakat, termasuk orang tua dan orang yang akan menggunakan lulusan, dan (c) pendidik, termasuk guru dan pengelola program pendidikan. Proses mengidentifikasi kebutuhan instruksional ini bertujuan untuk mengetahui perumusan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang perlu diajarkan kepada siswa dalam matapelajaran tertentu. Hasil perumusan tersebut dijadikan dasar untuk merumuskan Tujuan Instruksional Umum (TIU) atau Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)/Standar Kompetensi (SK). Teknik yang digunakan dalam mengidentifikasi kebutuhan instruksional dapat melalui kuesioner, interviu, observasi, dan tes.
Dari kegiatan mengidentifikasi kebutuhan instruksional diperoleh jenis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang tidak pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh siswa. Jenis pengetahuan, keterampilan , dan sikap tersebut masih bersifat umum atau garis besar. Ia merupakan hasil belajar yang diharapkan dikuasai siswa setelah menyelesaikan program pendidikan. Hasil belajar ini disebut tujuan instruksional. Karena sifatnya masih umum, maka disebut tujuan instruksional umum.
Tujuan instruksional, selain berfungsi sebagai sesuatu yang akan dicapai, juga berfungsi sebagi kriteria untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan instruksional. Oleh karena itu, seorang guru yang merumuskan tujuan instruksionalnya sebelum mulai proses pengajaran dapat dipandang sebagai guru yang bersedia mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalannya dalam mengajar. Atas dasar kriteria itu pula seorang guru dapat menentukan kapan ia harus memperbaiki efektivitas pengajarannya.
TPU atau TPK atau SK sebaiknya dirumuskan dengan kriteria, (a) berorientasi kepada siswa, (b) berorientasi kepada hasil belajar setelah menyelesaikan program, (c) menggunakan istilah akan dapat, (d) dirumuskan dalam bentuk kalimat mengunakan kata kerja aktif atau operasional atau dapat diukur/diamati, dan (e) mengandung obyek yang jelas. Contoh: Siswa...................... akan dapat menerapkan konsep ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
2. Melakukan Analisis Instruksional
Melakukan analisis instruksional adalah suatu proses menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus yang tersusun secara logis dan sitematik. Proses ini bertujuan untuk mengetahui gambaran susunan perilaku khusus dari yang paling awal sampai yang paling akhir. Baik jumlah maupun susunan perilaku tersebut akan memberikan keyakinan kepada guru bahwa perilaku umum yang tercantum dalam TPU/SK dapat dicapai secara efektif dan efisien oleh siswa. Melalui perilaku-perilaku khusus yang telah tersusun secara sistematik, siswa akan mencapai perilaku umum.
Dengan melakukan analisis instruksional akan tercipta suatu struktur perilaku dari perilaku khusus yang ada dalam kandungan TPU/SK. Struktur perilaku tersebut digolongkan empat macam, yaitu: (a) struktur hirarki, (b) struktur prosedural, (c) struktur pengelompokan, dan (e) struktur kombinasi. Srtruktur perilaku hirarki adalah kedudukan dua perilaku yang menunjukkan salah satu perilaku hanya dapat dilakukan bila telah dikuasai perilaku yang lain (ada perasyarat). Struktur perilaku prosedural adalah kedudukan beberapa perilaku yang menunjukkan satu seri urutan penampilan perilaku, tetapi tidak ada yang menjadi perilaku prasyarat untuk yang lain. Struktur perilaku pengelompokan adalah kedududukan perilaku-perilaku khusus yang tidak mempunyai ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Walaupun semuanya berhubungan. Struktur perilaku kombinasi adalah perilaku khusus sebagian tersebar akan terstruktur secara kombinasi antara struktur hirarki, prosedural, dan peneglompokan.
3. Mengidentifikasi Perilaku dan Karakteristik Awal Siswa
Setelah selesai melakukan analisis instruksional dan sudah tergambarkan perilaku-perilaku khusus yang akan dikuasai oleh siswa. Maka tahap berikutnya mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa atas hasil analisis instruksional yang sudah dijabarkan. Kemampuan siswa yang ada dalam kelas acapkali heterogen, sebagian siswa sudah banyak tahu, sebagian lagi belum tahu sama sekali tentang materi yang diajarkan di kelas berdasarkan perilaku-perilaku khusus yang ada. Bila guru mngikuti kelompok siswa sudah banyak tahu, maka kelompok siswa yang belum tahu akan ketinggalan dan tidak dapat menangkap pelajaran yang diberikan. Sebaliknya, bila guru mengikuti kelompok siswa yang belum tahu, kelompok siswa yang banyak tahu merasa tidak belajar apa-apa dan bosan.
Untuk mengatasi hal ini, ada dua pendekatan yang dapat dipilih. Pertama, siswa menyesuaikan dengan materi pelajaran dan kedua, materi pelajaran disesuaikan dengan siswa.
Setelah diketahui siswa yang menjadi populasi sasaran kegiatan instruksional, hal yang perlu dipertanyakan adalah sejauhmana pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka miliki sehingga dapat mengikuti pembelajaran? Pertanyaan ini sangat penting dijawab oleh guru sehingga sejak permulaan pembelajaran telah dapat disesuaikan dengan siswa yang akan mengikutinya. Jawaban itu merupakan pula suatu batasan bagi siswa yang bermaksud mengikuti matapelajaran tersebut. Teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi perilaku awal siswa dapat digunakan kuesioner, interview, observasi, dan tes. Subjek yang memberikan informasi diminta untuk mengidentifikasi seberapa jauh tingkat penguasaan siswa dalam setiap perilaku khusus melalui skala penilaian. Untuk mendapatkan data yang paling keras, adalah menggunakan tes penampilan siswa dan observasi terhadap pelaksanaan pekerjaan siswa serta tes tertulis untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa. Tetapi, bila tes seperti ini tidak tepat dilakukan karena dirasakan kurang etis, kesulitan teknik pelaksanaannya, atau tidak mungkin dilaksanakan karena sebab yang lain, pengggunaan skala penilaian cukup memadai. Skala penilaian tersebut diisi oleh orang-orang yang tahu secara dekat terhadap kemampuan siswa dan diisi oleh siswa sebagai self report.
Berdasarkan masukan ini, dapat ditetapkan oleh guru titik berangkat atau permulaan pelajaran yang harus diberikan pada siswa. Titik itu adalah perilaku khusus di atas garis batas yang telah dikuasai siswa atau calon siswa.
Hasil akhir dari kegiatan mengidentifikasi perilaku awal siswa adalah menentukan garis batas antara perilaku yang tidak perlu diajarkan dan perilaku yang harus diajarkan kepada siswa. Perilaku yang akan diajarkan ini kemudian dirumuskan dalam bentuk tujuan pembelajaran khusus (TPK) atau Kompetensi Dasar (KD) beserta indikator.
Selain mengidentifikasi perilaku awal siswa, guru harus pula mengidentifikasi karakteristik siswa yang berhubungan dengan pengembangan instruksional. Misalnya, minat, kemampuan bahasa inggris, kemampuan pancaindra, kesenangan, dan lain-lain yang dimiliki oleh siswa. Karakteristik ini perlu diketahui oleh guru, karena berkaitan dengan pengembangan strategi pembelajaran (urutan pebelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan waktu pembelajara) yang akan diterapkan.
4. Menulis Tujuan Kinerja atau Tujuan Instruksional Khusus (TIK/TPK)
Tujuan instruksional khusus terjemahan dari specific instructional objective. TIK/TPK ditempatkan sebagai komponen awal dalam menyusun desain instruksional merupakan pusat perhatian setiap pengembangan instruksional. TIK/TPK merupakan dasar dan pedoman bagi seluruh proses pengembangan instruksional selanjutnya. Perumusan TIK/TPK nerupakan titik permulaan yang sesungguhnya dari proses pengembangan instruksional, sedangkan proses sebelumnya merupakan tahap pendahuluan untuk menghasilkan TIK/TPK.
TIK/TPK merupakan satu-satunya dasar dalam menyusun kisi-kisi tes. Selanjutnya TIK/TPK merupakan alat untuk menguji validitas isi tes. Dalam menentukan isi pelajaran yang akan diajarkan, pengembang instruksional merumuskannya berdasarkan perilaku yang ada dalam TIK/TPK. Tujuan instruksional menjadi arah proses pengembangan instruksional karena di dalamnya tercantum rumusan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang akan dacapai siswa pada akhir proses pembelajaran. Keberhasilan siswab dalam mencapai tujuan tersebut merupakan pula ukuran keberhasilan sistem pembelajaran yang digunakan guru.
Perumusan TIK/TPK harus mengandung unsur-unsur yang dapat memberikan petunjuk kepada penyusunan tes agar ia dapat mengembangkan tes yang benar-benar dapat mengukur perilaku yang terdapat di dalamnya. Unsur-unsur itu dikenal dengan ABCD, yang berasal dari kata A = Audience, B = Behavior, C = Condition, dan D = Degree.
Audience adalah siswa yang akan belajar. Behavior adalah perilaku yang spesifik yang akan dimunculkan oleh siswa setelah selesai proses belajarnya dalam matapelajaran tertentu. Codition adalah batasan yang dikenakan kepada siswa atau alat, informasi, atau lingkungan yang digunakan siswa pada saat ia dites, bukan pada saat ia belajar. Degree adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai perilaku tersebut. Contoh rumusan TIK/TPK adalah: Jika diberikan kalimat aktif dalam bahasa Indonesia, siswa…………… , akan dapat menerjemahkannya ke dalam kalimat pasif bahasa Inggris, paling sedikit 80% benar.
Dengan merumuskan TIK/TPK guru dapat mengidentifikasi isi atau materi matapelajaran yang akan diajarkan. TIK/TPK mengandung unsur behavior atau perilaku yang diharapkan dicapai siswa di akhir pelajaran. Banyaknya rumusan TIK/TPK yang disusun sesuai dengan banyaknya perilaku khusus yang telah ditetapkan berdasarkan hasil identifikasi perilaku awal siswa. Rumusan perilaku ini terdiri dari dua hal yaitu kata kerja dan objek. Objek inilah yang menunjukkan topik atau pokok bahasan dari isi matapelajaran. Dari contoh TIK/TPK tersebut di atas maka yang menjadi topik pelajarannya adalah kalimat pasif. Setiap topik dapat diuraikan menjadi sub topik. Uraian yang rinci akan memudahkan perancang pembelajaran atau guru dalam menulis atau memilih bahan pelajaran. Materi matapelajaran untuk setiap TIK/PTK akan tergambar dalam strategi instruksional. Dengan perkataan lain rumusan isi matapelajaran secara singkat akan dibuat guru pada saat ia menyusun strategi instruksional.
5. Mengembangkan Butir Tes Acuan Patokan
Setelah TIK/TPK selesai dirumuskan secara operasional, tahap berikutnya adalah mengembangkan butir tes acuan patokan. TIK/TPK berisi perilaku-perilku khusus yang belum dikuasai siswa sebelum memulai pembelajaran. TIK/TPK merupakan hasil dari dua proses, yaitu hasil kegiatan analisis insturuksional dan mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa. Guru haruslah menyusun tes yang dapat mengukur penguasaan siswa dalam setiap perilaku tersebut. Bukan mengukur seluruh uraian guru dalam proses instruksional, sebab apa yang diberikan guru selama proses tersebut belum tentu seluruhnya relevan dengan TIK/TPK. Isi pelajaran bukanlah kriteria untuk mengukur keberhasilan proses pelaksanaan instruksional. Ia bagian dari proses itu dan termasuk harus diuji relevansinya dengan tujuan instruksional.
Setiap butir tes yang relevan dengan TIK/TPK adalah valid untuk digunakan. Apabila di kemudia hari setelah selesai proses instruksional seluruh siswa ternyata menguasai 100% perilaku dalam TIK TPKtersebut, maka dapat ditafsirkan bahwa proses instruksional tersebut telah efektif. Ini berarti butir tes yang digunakan telah mengukur apa yang seharusnya diukur. Butir tes yang mengacu kepadaTIK/TPK atau untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap perilaku yang terdapat dalam TIK/TPK tersebut dinamakan tes acuan patokan (criterion-referencd test).
Untuk menyusun butir Tes Acuan Patokan (TAP), guru perlu melakukan langkah-langkah berikut. (1) Menentukan maksud tes yaitu (a) memberikan umpan balik tentang hasil belajar siswa dalam setiap tahap proses belajarnya, maka guru menyusun TAP untuk mengukur secara cermat pencapaian siswa setiap perilaku dalam TIK/TPK ini. Tes ini berfungsi sebagai tes formatif. (b) menilai efektivitas sistem instruksional secara keseluruhan. Untuk ini guru menyusun TAP yang dapat mengukur hasil belajar siswa dalam menguasai seluruh perilaku dalam TPU. (2) Membuat tabel spesifikasi(kisi-kisi) yang memuat: daftar perilaku, bobot perilaku, jenis tes, dan jumlah butir tes. (3) Menulis butir tes sesuai tabel spesifikasi. (4) Merakit tes yang telah ditulis dan dikelompokkan atas dasar jenis kemudia diberi nomor urut. (5) Menulis petunjuk menjawab tes sesuai jenisnya. (6) Menulis kunci jawaban tes. (7) Mengujicobakan tes. (8) Menganalisis hasil ujicoba. (9) Merevisi tes.
6. Mengembangkan Strategi Instruksional
Dick dan Carey (1996), Dick, Carey, dan Carey (2005), mengatakan suatu strategi instruksional menjelaskan komponen-komponen umum dari suatu set bahan instruksional dan prosedur-prosedur yang akan digunakan bersama bahan-bahan tersebut untuk menghasilkan hasil belajar tertentu pada siswa. Ia menyebutkan lima komponen umum dari strategi instruksional yaitu, (1) kegiatan pra-intruksional; (2) penyajian informasi; (3) partisipasi siswa; (4) tes; dan (5) tindak lanjut.
Merril dan Tennyson (1977) menyebutnya strategi instruksional sebagai urutan tertentu dari penyajian. Sedangkan AT&T (1985) menyamakannya dengan metode instruksional. Gagne dan Briggs (1979) menyebutnya sebagai sembilan urutan kegiatan insturksional, yaitu: (1) memberikan motivasi atau menarik perhatian; (2) menjelaskan tujuan instruksioanal kepada siswa; (3) mengingatkan kompetensi prasyarat; (4) memberi stimulus (masalah, topik, konsep); (5) memberi petunjuk belajar (cara mempelajari); (6) menimbulkan penampilan siswa; (7) memberi umpan balik; (8) menilai penampilan; dan (9) menyimpulkan.
Briggs dan Wager (1981) mengungkapkan bahwa tidak semua pelajaran /matapelajaran memerlukan sembilan urutan kegiatan tersebut. Sebagian matapelajaran-/matadiklat hanya menggunakan beberapa di antara sembilan urutan kegiatan tersebut, tergantung kepada karakteristik siswa dan jenis perilaku yang ada dalam tujuan instruksional. Pengurangan dari sembilan urutan tersebut masih dimungkinkan sepanjang alasan secara rasionalnya jelas.
Strategi instruksional adalah suatu komponen sistem instruksional yang masih terbelakang. Ia masih belum berkembang seperti komponen-komponen lain. Kaitannya dengan komponen yang lain untuk membentuk suatu sistem belum kokoh benar. Dalam proses pengembangan instruksional, kaitan antara pengindentifikasikan TPU, analisis instruksional, TIK/TPK, dan tes misalnya telah tampak sedemikian ketat. Pengembangan setiap komponen tersebut pun telah sistematik. Tetapi, strategi instruksional sebagai salah satu komponen di samping tes yang akan menjadi dasar pengembangan atau pemilihan bahan belajar, masih perlu dikembangkan lebih jauh. Briggs dan Wager (1981) menjelaskan bahwa pngetahuan kita belum lengkap tentang urutan kegiatan instruksional yang sesuai untuk berbagai macam siswa dan tujuan. Penelitian dalam bidang ini masih terhitung langka.
Dari penjelasan di atas, para ahli sepakat bahwa strategi instruksional berkenaan dengan pendekatan pengajaran dalam mengelola kegiatan instruksional untuk menyampaikan materi atau isi pelajaran secara sistematik, sehingga kemampuan yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa secara efektif dan efisien. Di dalamnya terkandung empat pengertian sebagai beriku:
1. Urutan kegiatan instruksional, yaitu urutan kegiatan pengajar dalam menyampaikan isi pelajaran kepada siswa;
2. Metode instruksional, yaitu cara guru mengorganisasikan materi pelajaran dan siswa agar terjadi proses belajar mengajar secara efektif dan efisien;
3. Media instruksional, yaitu peralatan dan bahan instruksional yang digunakan pengajar dan siswa dalam kegiatan instruksional;
4. Waktu yang digunakan oleh pengajar dan siswa dalam menyelesaikan setiap langkah dalam kegiatan instruksional.
Dengan demikian, strategi instruksional merupakan perpaduan dari urutan kegiatan, cara pengorganisasian materi pelajaran dan siswa, peralatan dan bahan, serta waktu yang digunakan dalam proses instruksional untuk mencapai tujuan instruksional yang telah ditentukan. Dengan perkataan lain, strategi instruksional dapat pula disebut sebagai cara yang sistematik dalam mengkomunikasikan isi pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan instruksional tertentu. Ia berkenaan dengan bagaimana (the how) menyampaikan isi pelajaran. Strategi instruksional lebih dari sekedar urutan kegiatan dan metode instruksional saja. Di dalamnya terkandung pula media instruksional dan pembagian waktu untuk setiap langkah kegiatan tersebut. Strategi instruksional yang disusun perlu didukung oleh teori-teori psikologi dan teori-teori instruksional serta bila strategi instruksional itu digunakan harus dapat membuat siswa mencapai tujuan instruksional yang telah ditentukan.
Strategi instruksional yang pada dasarnya terbagi atas empat komponen utama yaitu: Urutan kegiatan instruksional, metode, media, dan waktu. Komponen utama yang pertama, yaitu kegiatan instruksional mengandung beberapa komponen yaitu pendahuluan, penyajian, dan penutup. Komponen Pendahuluan terdiri atas tiga langkah yaitu : (1) penjelasan singkat tentang isi pelajaran; (2) penjelasan relevansi isi pelajaran baru dengan pengalaman siswa; dan (3) penjelasan tentang tujuan instruksional. Komponen Penyajian terdiri atas tiga langkah, yaitu: (1) uraian; (2) contoh; dan (3) latihan. Komponen Penutup terdiri atas tiga langkah yaitu, (1) tes formatif; (2) umpan balik; dan (3) tindak lanjut
Komponen utama yang kedua, yaitu metode instruksional, terdiri atas berbagai macam metode yang digunakan dalam setiap langkah pada urutan kegiatan instruksional. Setiap langkah tersebut mungkin menggunakan satu atau beberapa metode atau mungkin pula beberapa langkah menggunakan metode yang sama.
Komponen utama yang ketiga, yaitu media instruksional, berupa media cetak atau media audiovisual yang digunakan pada setiap langkah pada urutan kegiatan instruksional. Seperti halnya penggunaan metode instruksional, mungkin beberapa media digunakan pada beberapa langkah.
Komponen keempat strategi instruksional adalah waktu, yaitu jumlah waktu dalam menit yang dibutuhkan oleh guru dan siswa untuk menyelesaikan setiap langkah pada urutan kegiatan instruksional. Jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mengajar, terbatas kepada waktu yang digunakan guru dalam pertemuan dengan siswa. Waktu untuk siswa adalah jumlah waktu yang digunakan dalam pertemuan dengan guru ditambah dengan waktu yang digunakan untuk melaksanakan tugas yang sehubungan dengan matapelajaran di luar pertemuan dengan guru. Menurut Suparman (1992) waktu yang dibutuhkan untu tahap pendahuluan sekitar 5-7% dari waktu pengajaran yang tersedia, untuk tahap penyajian waktunya sekitar 80-90% dari waktu kegaiatn belajar mengajar yang tersedia, dan untuk tahap penutup membutuhkan waktu sekitar 10-15% dari waktu pengajaran yang tersedia.
Menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan siswa juga sangat penting artinya bagi berbagai pihak. Bagi siswa jumlah waktu merupakan petunjuk dalam mengelola waktu belajarnya. Bagi pengelola program pendidikan jumlah waktu yang dibutuhkan siswa merupakan petunjuk tentang bobot matapelajaran. Di perguruan tinggi misalnya, jumlah waktu yang dibutuhkan siswa untuk mempelajari suatu matapelajaran menunjukkan SKS (Satuan Kredit Semester) matapelajaran tersebut, 1 Sks setara 50 menit.
Strategi instruksional perlu dikembangkan guru pada setiap pertemuan dalam matapelajaranmya seperti tertera dalam bentuk bagan pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Bagan Strategi Instruksional
URUTAN KEGIATAN INSTRUKSIONAL METODE MEDIA WAKTU
PENDAHULUAN Deskripsi singkat:
Relevansi:
TIK:
PENYJIAN Uraian:
Contoh:
Latihan:
PENUTUP
Tes Formatif:
Umpan Balik:
Tindak Lanjut:
7. Mengembangkan Bahan ajar
Bahan ajar ditulis berdasarkan strategi instruksional yang digunakan. Menulis bahan ajar berarti mengajarkan sesuatu matapelajaran melalui tulisan, dimana bahasa yang digunakan bukan bahasa buku teks yang bersifat sangat resmi atau formal, melainkan bahasa setengah formal dan setengah lisan. Ketika guru menulis bahan ajar, ia hendaknya membayangkan bahwa ia sedang memberi pengejaran tatap muka kepada seorang pembaca, seolah-olah sedang mengajak pembaca berbicara. Susunan tulisan dalam suatu bahan ajar sebaiknya mencerminkan strategi instruksional yang telah dipilih dan dirancang serta digunakan oleh guru tersebut.
Panduan yang kira-kira dapat dipertimbangkan dalam menulis bahan ajar sebagai berikut. Bagian pendahuluan memuat: kerangka isi, tujuan instruksional, deskripsi singkat, relevansi, dan kata-kata kunci. Bagian isi (penyajian) memuat: judul, uraian atau penjelasan, ringkasan, dan latihan. Bagian penutup memuat: tes formatif, umpan balik, dan tindak lanjut.
Bagian pendahuluan: (a) kerangka isi diletakkan pada setiap awal bab, berfungsi untuk memperlihatkan kaitan antara bab yang sedang dibahas dengan bab yang sebelumnya serta bab sesudahnya. Untuk memusatkan perhatian pembaca, bab yang sedang dibaca diberi tanda yang berbeda (umpamanya, kotak yang berbayang). (b) Tujuan, mengungkapkan kemampuan apa yang harus dimiliki oleh siswa setelah selesai mengikuti kegiatan belajar bab tersebut, tujuan harus ditulis operasional sehingga pencapaiannya mudah diukur. (c) Deskripsi singkat isi bab, ditulis dalam satu pragraf. Dengan membaca deskripsi tersebut siswa akan mendapatkan gambaran umum tentang keseluruhan isi bab yang sedang dibahas. (d) Relevansi isi bab, ditulis dalam satu pragraf untuk mengungkapkan kaitan antara isi bab yang sedang dipelajari dengan isi bab yang telah dipelajari sebelumnya dan kegunaannya dalam keseluruhan proses belajar serta kaitannya dengan dunia pekerjaan. (e) Kata-kata kunci, kata-kata kunci perlu didefenisikan dan dikemukakan dalam bagian ini.
Bagian isi; bagian isi adalah daging suatu bab yang terdiri dari beberapa sub bagian, yaitu: (a) Judul. (b) Uraian atau penjelasan, secara terperinci tentang isi bab, yang diikuti dengan contoh konkrit dan non contoh, serta gambar dan grafik. Uraian dapat pula dimulai dengan contoh-contoh atau kasus-kasus kemudian baru diikuti dengan penjelasan tentang konsep yang dimaksud. (c) Ringkasan, dari konsep atau prinsip yang telah dipelajari. (d) Latihan, yang berisi kegiatan yang harus dilakukan siswa setelah membaca uraian di atas. Latihan ini berisi perintah yang harus dilakukan siswa dengan mengikuti petunjuk-petunjuk secara bertahap, langkah demi langkah. Tujuan latihan ini adalah agar siswa benar-benar menguasai konsep yang telah dibahas.
Bagian penutup, adalah sub komponen terakhir dalam urutan kegiatan instruksional. (a) Tes formatif dan umpan balik, adalah seperangkat pertanyaan atau tugas untuk dikerjakan siswa untuk mengukur kemajuan belajar siswa (boleh tertulis atau lisan). Dilakukan setelah selesai mengikuti pembelajaran. Kemudian hasilnya diperiksa oleh guru, dan atas hasil yang dikerjakan siswa guru memberikan umpanbalik sebagai penegasan yang berguna untuk perbaikan. (b) Tindak lanjut, tentang apa yang akan ditugaskan kepada siswa setelah melakukan tes formatif dan umpanbalik. Misalnya meneruskan ke materi matapelajaran berikutnya, atau menambah untuk memperdalam, atau mengulang (remidial) yang sifatnya membantu untuk memperlancar kegiatan belajar berikutnya.
8. Melaksanakan Evaluasi Formatif
Setelah semua tahap perancangan sistem pembelajaran selesai dikembangkan, tahap berikutnya adalah melakukan evaluasi formatif terhadap keseluruhan kegiatan perancangan tersebut. Evaluasi formatif bertujuan untuk menentukan apa yang harus ditingkatkan atau direvisi agar produk tersebut lebih efektif dan efisien. Dalam proses pengembangan suatu produk instruksional, pelaksanaan evaluasi formatif adalah suatu keharusan. Hanya dengan cara itulah guru sebagai pengembang instruksional dapat merasa yakin bahwa sistem instruksional yang dikembangkannya akan efektif dan efisien di lapangan secara sesungguhnya nanti.
Evaluasi formatif dapat dilakukan empat tahap, yaitu (1) Review oleh ahli bidang studi, ahli disain, ahli media, dan ahli bahasa di luar dari Tim pengembang instruksional tersebut. (2) Evaluasi satu-satu dilakukan antara pengembang instruksional dengan dua atu tiga siswa secara individual. Siswa yang dipilih adalah yang memiliki karakteristik seperti populasi sasaran. (3) Evaluasi kelompok kecil siswa yang representatif untuk mewakili populasi sasaran yang sebenarnya sebanyak 8-10 orang. (4) Ujicoba lapangan kepada sejumlah 15-30 orang siswa sepanjang telah mempunyai ciri yang sama atau mirip dengan populasi sasaran.
Berdasarkan hasil evaluasi formatif yang diperoleh dari setiap tahapan evaluasi digunakan untuk memperbaiki produk sistem instruksional yang sedang dikembangkan. Setelah dilakukan revisi secara cermat atas kekuaranga-kekurang yang ada, maka produk sistem instruksional dapat digunakan ke kelompok populasi sasaran. Selanjutnya dilakukan tahap evaluasi sumatif untuk melihat keberhasilan siswa terhadap produk sistem instruksional yang diterapkan.
F. Penutup
. Dalam merancang pembelajaran banyak pilihan model pengembangan sistem pembelajaran yang dapat diacu oleh guru yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan kondisi yang ada. Di mana proses perancangan pembelajaran yang tepat membutuhkan beberapa kemampuan dari para perancang atau pengajar atau guru, seperti kemampuan menganalisis, mengembangkan dan mengevaluasi pembelajaran. Terwujudnya suatu kualitas pembelajaran yang baik, tidak hanya ditentukan oleh berbagai kemampuan yang dimiliki oleh guru, akan tetapi adanya kesadaran, kepedulian, perubahan sikap dan komitmen yang tinggi bagi para guru itu sendiri untuk melakukan pengembangan sistem pembelajaran dari matapelajaran yang diasuhnya terus-menerus apabila ingin meningkatkan hasil belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Asep. S. (2009). ”Saudara kita yang terasing di Perkebunan”. www.prakarsa-rakyat.org.25/06/2009.
AECT (1986). Definisi teknologi pendidikan. Jakarta: CV Rajawali.
Burke, J. (1995). Competency based education and training. London: The Falmer Press.
Degeng, Nyoman S. (1989). Ilmu Pengajaran: taksonomi variable. Jakarta: Depdikbud, Dikti, P2LPTK.
Degeng, Nyoman S. (2000). “Desain Pembelajaran”. Materi Pelatihan Pekerti. Malang: Universitas Negeri Malang.
Dick, W., & Carey, L. (1996). The Sistematic design of Instruction. Glenview, Illinois: Scott, Foresman and Company.
Dick, W., Carey, L.,& Carey, J.O. (2005). The Sistematic Design of Instruction (7th Ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Gafur, Abdul (1982). Disain instruksional. Solo: Tiga Serangkai.
Gagne, Robert M and Briggs, Leslie J. (1979). Principles of Instructional Design (2nd Ed.). New York: Holt, Rinehart and Winston.
Gagne, Robert., Briggs, Leslie J. And Wager, Walter W. (1981). Handbook of Procedures for the Design of Instruction (2nd Ed.) Englewood Cliffs, New Jersey: Educational Technology Publications.
Hamalik, Oemar (1989). Metodologi pengajaran ilmu pendidikan berdasarkan pendekatan kompetensi. Bandung: Mandar Maju
Siompul, Harun. (2009). “Kompetensi Guru Dalam Mendesain Pembelajaran”. Makalah, disajikan pada seminar nasional peningkatan kompetensi guru dalam mewujudkan kualitas pendidikan nasional pada 25 April 2009 di Binjai.
Miarso, Yusufhadi. (2004). Menyemai benih Teknologi pendidikan. Jakarta: Pustekom-Diknas.
Kemp, Jerrold E (1994). Proses perancangan pengajaran. Bandung: ITB
Harless, Joe (1975). Front-End Analysis. Training magazine of Man power and Managemen Developmen. March.
Merril, M, David and Tennyson, Robert D. (1977). Teaching Concepts: An Instructional Design Guide. Englewood Cliffs, New Jersey: Educational Technology Publications.
Miarso, Yusufhadi (1994). Survei model pengembangan instruksional. Jakarta: PAU-Depdikbud.
“PLK kesulitan guru”. Spirit : media pendidikan khusus & pendidikan layanan khusus, Edisi 27 tahun IV, mei 2009. p.11.
Prawiradilaga, D Salma (2007). Prisip Disain Pemelajaran (Instuctional Design Principles). Jakarta: Prenada Media Group.
Hasnudi & Iskandar. ( ). Renstra Pembangunan perkebunan di Propinsi Sumatera Utara. Medan: USU.
Sa’ud, Udin Saefudin. (2008). Inovasi pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Situmorang, R., Suparman, A., dan Susilana, R. (2004). Desain pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
Soekamto, Toeti (1993). Perancangan dan pengembangan sistem instruksional. Jakarta: Intermedia.
Soekamto, Toeti dan Winaputra, Udin Saripudin (1996). Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: DIKTI, Depdikbud
Suparman, Atwi (1992). Garis-Garis Besar Program Pengajaran Dan Satuan Acara Pengajaran. PAU-DIKTI, Depdikbud.
Suparman, Atwi (1997). Disain instruksional. Jakarta: PAU-DIKTI Depdikbud.
Uniknya masyarakat Perkebunan. http:/multiply.com