Selasa, 07 Agustus 2012

Azizia Harmes Menangkan Karya Tulis Honda Tahun 2011


MedanBisnis – Medan. Siswi SMA Harapan 1 Medan, Azizia Harmes keluar sebagai pemenang dalam ajang Kompetisi Karya Tulis Honda Best Student 2011 tingkat SMA/SMK/MAN Negeri maupun swasta sederajat se-Propinsi Sumut yang berlangsung di kantor CV Indako Trading Co Jalan Makmur No 30 Medan.
Aziza mengalahkan 120 peserta lainnya. Sementara pemenang terbaik kedua diraih Heru Cakra Asari dari SMA Negeri 1 Kisaran. Azizia dan Heru, sama-sama menunjukkan ekspresi kegembiraan. "Saya sangat tidak menyangka dapat meraih juara dalam kompetisi ini, karena semua pesertanya bagus-bagus dan pintar. Saya juga berterima kasih kepada Honda yang telah memberikan kesempatan berharga bagi kami pelajar sehingga kami dapat mengembangkan bakat menulis dan mengukir prestasi, terima kasih Honda," ujar Azizia di Medan, Sabtu (2/7).

Honda Best Student merupakan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang rutin digelar setiap tahun oleh PT Astra Honda Motor(AHM) bekerjasama dengan berbagai cabang main dealer Honda di tanah air.

Tepat di tahun ke-VIII, CV Indako Trading Co selaku main dealer Honda di wilayah Sumut, kembali menggelar kompeitisi ini sebagai bentuk perhatian kepada pelajar berprestasi khususnya yang memiliki bakat menulis, sehingga mereka dapat mengapresiasikan bakat dan kemampuannya melalui ajang ini.

Melalui program ini, kata General Manager CV Indako Trading Co Arifin Posmadi SH MBA, pihaknya juga berharap dapat turut mendukung upaya pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan di Sumut, sehingga kedepannya dapat melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas dan berbakat.
Dalam mengikuti Lomba Karya Tulis bertemakan ‘Issue Lingkungan Hidup’ ini, peserta diharuskan melewati 3 tahap seleksi, yakni seleksi administrasi yang meliputi  prestasi akademis, nonakademis, kegiatan sosial dan berorganisasi.

Kemudian seleksi pembuatan karya tulis, yang dilanjutkan dengan seleksi presentasi karya tulis di depan dewan juri yang terdiri dari Dra Sabariah dari Disdiksu, Prof Dr Suharta MSi selaku Korbid Lingkungan Hidup Unimed, Rizal R Surya SH dari Harian Analisa dan Abdi Rahmad ST mewakili pihak CV Indako Trading Co. (benny pasaribu)

Sumber : http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/07/04/43051/azizia_harmes_menangkan_karya_tulis_honda/#.UCBaz6AdIkQ

Senin, 06 Agustus 2012

Bumi "Panas-Dingin" Sepanjang Zaman



Pemanasan global dan perubahan iklim menguasai para pemimpin dan pemikir tingkat global di era ini. Faktanya, bukan kali ini saja Bumi mengalami perubahan iklim. Selain adanya zaman es, iklim Bumi juga terus berubah secara periodik akibat perubahan sudut sumbu Bumi-Matahari yang terus terjadi.
Perubahan iklim di Bumi sebenarnya sering terjadi, bahkan pernah secara intens terjadi. Perubahan iklim Bumi itu antara lain terjadi sesuai dengan zaman es yang setidaknya mulai ada sejak sekitar satu miliar tahun lalu.
Bukti dari terjadinya zaman es antara lain didapatkan dari pemeriksaan terhadap siklus dari mineral karbon yang terkubur di garis khatulistiwa di Pasifik.
Penelitian yang dilakukan Gustaf Arrhenius pada Swedish Deep-Sea Expedition melakukan uji karbon dan pengamatan pada fosil mikro (diatom-makhluk hidup terdiri atas satu atom dan pada foraminifer) yang menunjukkan adanya siklus zaman es-zaman interglasial.
Zaman es ditandai dengan lapisan es di kutub Bumi. Di antara zaman es terdapat era yang disebut sebagai zaman interglasial—ketika Bumi menjadi lebih hangat. Namun, untuk mendapatkan bukti-bukti lain tentang zaman es tidak mudah.
”Tidak banyak arsip (di alam) yang bisa menjadi bukti terjadinya zaman es. Bukti-bukti yang didapatkan juga tidak terlalu banyak,” ujar Pedro Di Nezio dari International Pacific Research Center, School of Ocean and Earth Sciences Universitas Hawaii, akhir Maret, di sela-sela pertemuan para pakar di Lembang, Jawa Barat.
Para pakar dari berbagai bidang tersebut, mulai dari pakar iklim purba (paleoclimate), biologi, hingga geofisika, berkumpul dalam rangka merencanakan pengeboran sampel geologis dari Danau Towuti.
Di Nezio menjelaskan, ”arsip alam” terkait zaman es tersimpan baik-baik di dalam gua ataupun danau-danau dalam. ”Di dalam gua dan danau-danau tersebut relatif tertutup, tidak banyak intervensi dari kondisi luar sehingga kondisi pada zaman es yang hampir satu miliar tahun usianya itu bisa tersimpan dengan baik,” tuturnya.
”Di lautan sebenarnya lebih banyak terdapat rekaman sejarah iklim Bumi. Semuanya tersimpan di dalam sedimen,” kata Di Nezio.
Sesuai dengan terjadinya siklus zaman es-zaman interglasial, kutub yang suatu ketika ditutup es amat luas, pada waktu yang berbeda bisa jadi menjadi daerah yang lebih hangat.
Zaman es yang intens mulai terekam sekitar 650.000 tahun lalu. Sejak masa itu hingga sekarang, ada yang menyebutkan telah terjadi 10-12 kali zaman es. Namun, menurut Di Nezio, setidaknya terjadi tujuh kali zaman es.
Zaman es yang mencapai puncaknya pada 21.000 tahun lalu. Zaman es di tahun itu disebut sebagai last glacial maximum. Sebab setelah itu, tutupan es menjadi semakin sedikit dan terus menurun. Zaman interglasial terkuat terjadi sekitar 100.000 tahun lalu. ”Sampai akhirnya zaman es berakhir pada 12.000 tahun lalu,” kata Di Nezio. Sejak itu, iklim Bumi relatif lebih stabil. Zaman itu ditandai dengan munculnya peradaban manusia.
Siklus Milankovitch
Mendinginnya kutub Bumi dipengaruhi banyaknya sinar matahari ke kutub. Ahli matematika dari Serbia, Milutin Milankovitch menjelaskan bagaimana siklus orbital dari Bumi menyebabkan kutub menjauh dan mendekat pada Matahari secara siklik.
Bumi yang berbentuk oblate spheroid—sumbu vertikal dari Bumi yang berbentuk lonjong lebih pendek dari sumbu horizontal—berotasi dengan sumbu yang terus ”bergoyang” (wobble, bergoyang seperti gasing yang kehilangan daya putar). Kemiringan sumbu vertikal Bumi yang menyebabkan kutub Bumi menjauh atau mendekat pada Bumi. Posisi inilah yang menyebabkan periode dingin atau periode panas di satu kutub lebih panjang atau lebih pendek. Dengan kata lain, radiasi matahari pada suatu lokasi terus berubah dari waktu ke waktu (Gambar). Temuan Milankovitch ini menuntun pada pengertian perbedaan iklim.
Kini yang disebut perubahan iklim amat berbeda. Penyebabnya bukan lagi semata siklus Milankovitch.
”Jika diakibatkan oleh perubahan lapisan es di kutub, perubahan itu memakan puluhan ribu tahun. Faktor pengubah saat ini adalah konsentrasi karbon dioksida dan metana, gas rumah kaca di atmosfer. Kegiatan kami di Towuti lebih untuk mengungkap rahasia perubahan iklim di zaman es,” ujar James Russel, ahli iklim purba dari Universitas Brown, Providence, Rhode Island, Amerika Serikat, yang menjadi pemrakarsa pengeboran Danau Towuti. Sejatinya Bumi terus ”panas- dingin” dalam rentang panjang.

Sumber : http://sains.kompas.com/read/2012/05/16/0316398/Bumi.Panas-Dingin.Sepanjang.Zaman.

Pemanasan Global Rusak Karang

 
Terumbu karang merupakan ekosistem produktif di pesisir, selain bakau dan lamun. Indonesia memiliki 85.000 kilometer persegi ekosistem terumbu karang dan representasi dari 14 persen terumbu karang dunia. Namun, di Indonesia hanya kurang dari 7 persen yang kondisinya sangat bagus.
Berbagai faktor ditengarai sebagai penyebab turunnya kualitas terumbu karang, seperti pencemaran, pengeboman, pemakaian sianida, dan perubahan iklim, termasuk pemanasan global.
Pemanasan global yang ditandai dengan peningkatan suhu permukaan air laut memberikan dampak pada ekosistem terumbu karang, seperti terjadinya pemutihan karang. Hal itu merupakan proses di mana karang kehilangan simbionnya yang berupa zooxanthela (alga endosimbion), terutama dari genus Symbiodinium yang memberikan warna pada permukaan karang. Alga simbion ini berperan penting dalam ekosistem terumbu karang. Simbion menyediakan hampir semua kebutuhan energi karang yang berasal dari proses fotosintesis berupa karbon. Pemutihan karang diyakini sebagai mekanisme normal karang sebagai respons terhadap perubahan lingkungan dan mempertahankan eksistensinya. Alga simbion lepas dari inang karang secara temporer dan terjadi perubahan komposisi alga simbion. Dalam konsep coral holobionts, yakni inang karang dan mikroorganisme yang berasosiasi dengannya, dikenal istilah adaptive bleaching hypothesis. Dalam hipotesis ini, ada hubungan dinamika antara karang dan Symbiodinium pada kondisi lingkungan berbeda untuk memilih alga simbion menguntungkan.
Isu pemanasan global, di mana rata-rata suhu global meningkat 0,6 ± 0,2 derajat celsius dan diprediksi akan meningkat 1,5-4,5 derajat celsius pada abad ini, merupakan ancaman bagi ekosistem terumbu karang. Menurut Rosenberg dan Ben Haim (2002), beberapa penyakit karang merupakan hasil ekspresi gen-gen penyebab penyakit karang yang dipicu kenaikan suhu air laut.
Beberapa jenis penyakit karang yang menyerang karang, antara lain, pemutihan karang Oculina patagonica, aspergilosis yang menyerang Gorgonia ventalina, white band yang menyerang karang Acropora cervicornis, pelak putih yang menyerang Diploria strigosa dan Favia favius, cacar putih pada Acropora palmata, yellow blotch disease pada Monastraea faveolata, serta black band pada Diploria strigosa.
Suhu air laut
Peningkatan suhu air laut merupakan faktor utama dalam peningkatan ancaman penyakit karang. Pada pemutihan karang yang menyerang Pocillopora damicornis yang terinfeksi bakteri Vibrio coralliilytycus, karang akan mengalami pemutihan ketika suhu air laut 24-26 derajat celsius, dan Symbiodinium akan mengalami lisis ketika suhu air laut 27-29 derajat celsius yang mengakibatkan kematian karang. Pada suhu di bawah 22 derajat celsius infeksi tidak terjadi.
Beberapa tahap dalam proses infeksi karang, seperti adhesi patogen pada permukaan karang, ketahanan hidup patogen dalam jaringan karang dan produksi toksin merupakan proses yang bergantung pada kenaikan suhu.
Pada kasus infeksi yang menyebabkan pemutihan pada karang Oculina patagonica yang disebabkan oleh bakteri Vibrio shiloi, kenaikan suhu yang mendekati 30 derajat celsius menyebabkan patogen ini memasuki status viable but nonculturable. Hal ini merupakan keadaan di mana patogen kehilangan kemampuan untuk menghasilkan koloni pada media agar yang biasa digunakan untuk menumbuhkan.
Implikasinya, kita tidak akan mampu mengisolasi patogen yang diperlukan untuk mengidentifikasi dan menguji dalam menentukan agen penyebab penyakit. Karena itu, pemanasan global merupakan ancaman nyata yang menyebabkan penyakit karang.
Mikroorganisme
Ancaman lain berkaitan dengan penyakit karang adalah fakta di mana penyakit karang tidak lagi didominasi bakteri/jamur tunggal, seperti aspergilosis oleh jamur Aspergillus sydowii atau pelak putih oleh Aurantimonas coralicida, tetapi disebabkan oleh konsorsium mikroorganisme, seperti pada kasus black band.
Dalam penelitian terkini tentang agen penyebab penyakit pada white band di Perairan Tanjung Gelam, Kepulauan Karimunjawa, Hakim dan kawan-kawan (2012) membuktikan, penyakit white band yang menyerang karang Acropora humilis dan Acropora tortousa disebabkan oleh konsorsium bakteri yang terdiri dari genus Vibrio, Pseudoalteromonas, dan Bacillus.
Konsorsium patogen ini menyebabkan tipe penyakit white band yang berbeda pada A humilis dan A tortousa. Tipe I ditandai dengan infeksi yang dimulai dari bagian bawah karang yang diuji pada A humilis dan tipe II yang ditandai dengan infeksi yang dimulai dari bagian tengah percabangan ke arah ujung koloni pada A tortousa.
Fakta lain berkaitan dengan penyakit karang adalah perbedaan pemutihan karang. Pemutihan yang hanya dipicu oleh kenaikan suhu ditandai dengan pemutihan massal. Adapun pada penyakit karang, pemutihan bersifat lokal.
Sangat mungkin pada karang yang sama dan hidup berdampingan, yang satu terkena infeksi, tetapi karang di sebelahnya bebas dari serangan patogen penyebab penyakit.
Coral probiotic hypothesis dipercaya sebagai jawaban atas fenomena ini. Hampir mirip dengan adaptive bleaching hypothesis, hipotesis coral probiotic memungkinkan inang koral mengubah komposisi mikroorganisme yang berasosiasi dengannya. Dengan demikian dapat beradaptasi dengan ancaman penyakit karang dan kenaikan suhu air laut.
Pengetahuan berkaitan dengan penyakit karang yang dikaitkan dengan pemanasan global dan agen-agen penyebabnya sangat diperlukan dalam manajemen penyakit karang. Hal itu terutama berkaitan dengan penyebaran penyakit karang.
Ocky Karna RadjasaJurusan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro
 
Sumber : http://sains.kompas.com/read/2012/05/30/07013734/Pemanasan.Global.Rusak.Karang